emi priyanti

Emi Priyanti lahir di Brebes, 24 Agustus 1968. Masuk SDN Penjaringan 08 Pagi Jakarta tahun 1975, lulus dari SDN Pejagala...

Selengkapnya
Navigasi Web
Foto yang Memanggil Kenangan

Foto yang Memanggil Kenangan

#Tantangan Menulis 90 Hari (Hari ke-68)

Foto yang dibagikan Yanti ke dalam grup menjadi ramai karena kami mengingat-ingat peristiwa, waktu, dan cerita di balik foto itu. Kami sama-sama mengingat dimana kami pada saat itu. Malam yang merangkak tak membuat kami beranjak ke tempat tidur.

“Ini foto pas aku mau PPL nih,” Kataku mengingat-ingat.

“Oh, kalo tahun ketiga, aku udah nggak di kampus lagi.”

“Gila...kamu udah kelar, Jal?”

“Bukan, tapi udah nggak kuliah lagi.”

“Jiahhh.....married ya?””Bukan, Mi....jadi sales panci.”

“Ah...yang bener aja. Masa dari PTS ngetop jadi sales panci.”

“Serius, Mi...aku nggak kelar kuliahnya.”

“Kenapa, kamu kan pinter. Banyak duit juga.”

“Duit apa? Duit monopoli.....hahaha,” katanya tertawa.

“Kan dari zaman sekolah kamu udah pinter cari duit. Inget nggak...dulu aku pesen kartu lebaran lukisan kamu banyak.”

“Iya, Mi...buat jajan itu. Buat beli buku juga. Aku berhenti kuliah, soalnya adekku juga mau kuliah. Aku kerja buat bantuin adek-adek kuliah. Pas kuliahnya selesai, gaji adek-adekku gede-gede. Nggak kayak aku.”

“Ya allah...mulia sekali kamu, Jaldi.”

“Resiko jadi anak pertama, Mi.”

“Alhamdulillah kamu juga sekarang udah sukses ya.”

“Iya, Mi. Walau pun cuma jadi agen asuransi. Dulu pernah juga jadi agen minyak tanah. Tapi nggak bagus jalannya.”

“Wah, bukan cuma itu, Jal. Dari agen asuransi kamu bisa keliling dunia sekeluarga. Itu prestasi besar.”

“Iya, Mi. Modal ngedengerin curhatan orang, ngasih masukan dan tawaran, sampe ngedampingin nasabah. Apa aja yang dia minta, saya layanin. Pelayan saya ini ya?”

“Pelayan keren, Jal.”

“Nggak kayak kamu, keren jadi guru hebat.”

“Nggak ah....masih banyak guru-guru hebat lainnya.”

“Dipandang masyarakat juga tinggi. Dibanding agen asuransi, apalah aku ini?”

“Wah...sukses itu kan dari mana aja. Bentuknya bermacam-macam. Tapi satu yang sama. Mengalami proses jatuh-bangun-jatuh lagi-bangun lagi-jatuh lagi-bangkit lagi dan menjadi lebih tegar.”

“Bener, Mi. Jadi sales kadang bikin aku jadi minder kalo ketemu temen-temen yang pada kerja di kantoran dengan gaji tetap. Kalo aku kan harus pontang-panting lari sana lari sini mengejar dan mengikuti klien. Tapi dari situ aku banyak belajar mendengar. Belajar menghargai orang lain dengan sopan. Akhirnya aku jadi orang yang rendah hati, seperti yang sering kamu puji.”

“Proses yang luar biasa ya, Jal. Tapi buat aku, itu keren banget. Nggak semua orang sanggup berjuang dan berhasil seperti kamu.”

“Belasan tahun ditekuni, baru ada hasilnya, Mi. Cuma fokus ke situ. Alhamdulillah, sekarang orang yang dateng ke aku atau anak-anak kalau mau buka asuransi. Ibaratnya duit dateng sendiri. Tinggal jaga kepercayaan dan kenyamanan nasabah.”

“Keren, jal. Makasih udah berbagi cerita malam ini. Udah malam banget nih. Besok-besok kita ngobrol lagi.”

Malam pun menjelang pagi. Kami berpisah untuk bertemu lagi. Ada pelajaran berharga yang kupetik malam itu. Sukses itu nggak semudah membalikkan telapak tangan. Di dalamnya penuh perjuangan dan air mata. Ketegaran dan kesungguhan yang membuat Allah berbelas kasih dan memberi kita kesempatan untuk menikmati hasil dari semua proses perjuangan panjang itu.

Jakarta, 5 April 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post